Budidaya Ikan Nila menggunakan Teknik Bioflok
Pemerintah terus meningkatkan ketahanan pangan dari
sektor perikanan. Terkini, Pemerintah mengembangkan budidaya ikan nila dengan
teknologi sistem bioflok. Teknologi tersebut telah sukses diterapkan untuk
budidaya ikan lele yang dimassalkan di berbagai pesantren di Indonesia.
Kepala Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi Supriyadi mengatakan, ikan nila
dipilih untuk sebagai komoditas lanjutan sistem bioflok, karena nila termasuk
kelompok herbivora. Sehingga proses pembesarannya lebih cepat.
Selain itu, ikan nila
juga mampu mencerna flok yang tersusun atas berbagai mikroorganisme, yaitu
bakteri, algae, zooplankton, fitoplankton, dan bahan organik sebagai bagian
sumber pakannya. Itu menguntungkan dalam budidaya di kolam.
Budidaya ikan nila sistem bioflok memiliki sejumlah
keunggulan, seperti meningkatkan kelangsungan hidup (survival rate/SR)
hingga lebih dari 90 persen dan tanpa pergantian air. Air bekas budidaya juga
tidak berbau, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar dan dapat
disinergikan dengan budidaya tanaman misalnya sayur-sayuran dan buah-buahan.
“Hal ini dikarenakan
adanya mikroorganisme yang mampu mengurai limbah budidaya menjadi pupuk yang
menyuburkan tanaman,” ungkap Supriyadi pekan ini di Sukabumi, Jawa Barat.
Keunggulan lainnya
adalah Feed Conversion Ratio (FCR) atau perbandingan
antara berat pakan dengan berat total (biomass) ikan dalam satu siklus periode
budidaya mencapai 1,03. Artinya 1,03 kg pakan menghasilkan 1 kilogram ikan
Nila.“(Itu lebih efisien)
jika dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam biasa FCR-nya mencapai angka
1,5,” tuturnya.
Masih ada empat keunggulan
lainnya, yaitu padat tebar ikan mencapai volume 100-150 ekor/m3 atau 10-15 kali
lipat dibanding dengan pemeliharaan di kolam biasa yang hanya 10 ekor/m3.
Sistem bioflok juga mampu meningkatkan produktivitas
hingga 25-30 kg/m3 atau 12-15 kali lipat jika dibandingkan dengan di kolam
biasa yaitu sebanyak 2 kg/m3. Keempat, waktu pemeliharaan lebih singkat, dengan
benih awal yang ditebar berukuran 8-10 cm, selama 3 bulan pemeliharaan.“Benih tersebut mampu
tumbuh hingga ukuran 250-300 gram per ekor, sedangkan untuk mencapai ukuran
yang sama di kolam biasa membutuhkan waktu 4-6 bulan,” tambahnya.
Terakhir, Supriyadi
menyebutkan, ikan nila sistem bioflok lebih gemuk karena hasil pencernaan
makanan yang optimal. Dan komposisi daging atau karkasnya lebih banyak, serta
kandungan air dalam dagingnya lebih sedikit. Secara bisnis, budidaya ikan nila
juga sangat menguntungkan karena harganya cukup baik dan stabil di pasaran
yaitu Rp22 ribu/kg.
Supriyadi
mengingatkan, dalam pemeliharaan ikan Nila sistem bioflok, yang perlu dijaga
adalah kandungan oksigen yang larut di dalam air. Hal itu, karena oksigen
disamping diperlukan ikan untuk pertumbuhan juga diperlukan oleh bakteri untuk
menguraikan kotoran atau sisa metabolisme di dalam air. Pada ikan nila, kadar
oksigen terlarut (DO) di dalam media sebaiknya dipertahankan minimal 3 mg/L.
“Saya mengingatkan
agar teknologi bioflok di masyarakat bisa dikawal oleh UPT-UPT (unit pelaksana
teknis) dan para penyuluh agar tidak keliru menerapkannya, juga harus
diterapkan secara benar sesuai kaidah-kaidah cara budidaya ikan yang baik
seperti benihnya harus unggul, pakannya harus sesuai standar SNI, parameter
kualitas air seperti oksigen juga harus tercukupi,” pungkasnya.
Ramah Lingkungan
Direktur Jenderal
Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto
mengatakan, pengembangan teknologi sistem bioflok untuk ikan nila dilakukan
melalui kerja sama dengan peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Teknologi tersebut dipilih, karena diakui sebagai teknologi yang ramah
lingkungan.
Keberhasilan teknologi
sistem bioflok untuk ikan nila, menunjukkan Pemerintah terus berinovasi mencari
teknologi yang efektif dan efisien, dalam penggunaan air, lahan dan mampu
beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Walau sudah menemukan
teknologi tepat guna untuk ikan nila, Slamet menyebut Pemerintah tak akan
berhenti untuk melakukan inovasi. Terlebih, fenomena perubahan iklim, penurunan
kualitas lingkungan global, dan pertambahan penduduk terus menjadi tantangan
bersama yang tidak bisa dihindari.
“Dalam upaya
mewujudkan ketahanan pangan sehingga mau tidak mau harus diantisipasi, karena
secara langsung akan berdampak pada penurunan suplai bahan pangan bagi
masyarakat,” tuturnya.
Oleh karena itu,
Slamet meminta semua pelaku perikanan budidaya terus mengedepankan penggunakan
ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dalam pengelolaan usaha budidaya ikan
yang berkelanjutan.
Penerapan budidaya nila sistam bioflok ini didorong
dikembangkan di daerah-daerah terpencil, perbatasan dan potensial, guna
membangun ketahanan pangan. Pengembangan juga akan dilaksanakan di
pesantren-pesantren dan kelompok masyarakat lainnya.
“Teknologi bioflok ini
akan terus didorong agar diterapkan terhadap berbagai komoditas dan berbagai
daerah, sehingga menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Apalagi, saat ini produk Nila di beberapa daerah menjadi sumber gizi yang
digemari, bahkan seperti di Papua dan Lombok pada umumnya,” jelanya.
Seiring dengan
penertiban keramba jaring apung (KJA) di perairan umum seperti danau, waduk dan
lainnya, dia optimis bahwa teknologi ini dapat menjadi solusi bagi pembudidaya
ikan di sana yang tidak bisa lagi melaksanakan produksi. Dengan bioflok, para
pembudidaya diharapkan bisa pindah ke daratan dan melakukan budidaya ikan nila
seperti di danau atau waduk.
Untuk Pesantren
Untuk memasyarakatkan
teknologi bioflok, Pemerintah Indonesia menjadikan pesantren di berbagai daerah
sebagai lokasi pengembangan untuk budidaya perikanan tersebut.
Dengan cara
tersebut, ke depan diharapkan produksi ikan, khususnya lele bisa meningkat
secara nasional dan akan membantu suplai bahan pangan ikan nasional.
“Kita punya tanggung
jawab moral untuk membangun pesantren, bukan hanya secara ekonomi saja, namun
juga bagaimana turut serta dalam meningkatkan kualitas SDM yang ada. Dengan
mulai memperkenalkan ikan sebagai sumber pangan bagi mereka, kita ingin
generasi muda di lingkungan pondok pesantren lebih cerdas dengan mulai
membiasakan mengkonsumsi ikan,” ungkap dia.
Untuk itu, KKP pada
tahun ini menyalurkan bantuan kepada 7 pesantren, 12 kelompok pembudidaya dan 2
lembaga pendidikan di 16 provinsi yang mencakup wilayah perbatasan RI seperti
Belu (Nusa Tenggara Timur), Sarmi dan Wamena (Papua), Nunukan (Kalimantan
Utara).
Khusus untuk ikan lele
di pesantren, Slamet memperkirakan akan ada 78.500 santri yang terlibat, yang
diharapkan menggerakan perekonomian di pondok pesantren dan yayasan.
Dukungan ini
diharapkan mampu memproduksi ikan nila sebanyak 370,8 ton/siklus atau 1.452
ton, dengan keekonomian sebesar Rp21,78 miliar/tahun, dengan prediksi tenaga
kerja mencapai 1.030 orang.
DuniaPeternakanSukses.my ChannelYoutube Suryonokokara .
No comments:
Post a Comment